Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Berkaca dari Bencana Film

Written By Saiful Bahri on Rabu, 30 Maret 2011 | 23.27


Saya masih ingat betul saat BLACK SWAN diputar khusus untuk wartawan di Jakarta Teather 17 Februari 2011, tak ada yang menyangka bahwa Motion Picture Assosiation of America (MPAA) memutuskan menyetop pendistribusian film Amerika. Heboh, begitulah yang terjadi dikalangan wartawan. Mencoba mencari tahu dari berbagai sisi. Terbayang, bagaimana rasanya tidak bisa nonton film Hollywood. Dan dengan 'terpaksa' menikmati film lokal.
Tapi seiring berjalanannya waktu, sinar terang mulai nampak. Kisruh perpajakan dalam import film membuat kami merasa cukup memberitakan kehebohan tersebut. Ada jalan yang sedang dirintis oleh pembuat kebijakan untuk perfilman Indonesia. Toh kenyataannya masih ada film import lain yang diputar di bioskop, yang didatangkan bukan oleh MPAA tapi oleh importer lain.
Meminjam istilah 'Bencana Film' yang digunakan oleh Hanung Bramantyo dalam kasus ini, saya sangat percaya di balik bencana ada sisi pembelajaran. Penonton bioskop kita turun drastis, tentu saja. Tapi dari kejadian ini tahulah kita penonton film Indonesia yang sesungguhnya. Kalau banyak yang malas datang ke bioskop paska ditariknya film Hollywood, berarti selama ini yang menjadi magnet bioskop bukan film negeri sendiri. Berapa jumlah penonton saat film Hollywood 'hijrah'? Jawabannya adalah jawaban untuk pertanyaan berapa jumlah penonton film lokal kita. Sedikit? Ya, pasti.
Ironis? Tentu, masa kelam perfilman Indonesia jelas belum berakhir. Mau tidak mau berkurangnya kuota Hollywood diserahkan pada produser film lokal. Entah sengaja atau memanfaatkan kondisi yang ada, banyak muncul film-film instan yang dibuat dalam waktu singkat untuk menutup kuota tersebut.
"Itu bagian juga dari refleksi, bencana film, membuat perfilman kita dalam situasi yang tidak jelas. Bencana regulasi, bencana penonton, bencana tema, satu kanal yang berhenti kalau tidak disikapi dengan baik munculnya negatif. Muncul tindakan gegabah, film jelek dibikin untuk memenuhi kuota," kata Hanung ditemui di Taman Ismail Marzuki, Senin (29/03/2011).
Masyarakat perfilman, lanjutnya, bukan tidak tahu atau menutup mata. Semua menyadari hal ini sebagai kondisi sulit. "Semua insan film menyadari untuk berbuat maksimal dengan teman-teman. Saya melakukan dialog dengan LSF, saya minta mereka nggak asal motong. Bayangkan, dulu kebijakannya adalah sensor setelah film jadi. Jadi kalau asal gunting pita itukan adegannya jumping. Bukan cuma gambarnya yang nggak nyambung, tapi lagu juga tiba-tiba keputus. Dari situ saya berdialog, supaya sensor dilakukan sebelum film masuk editing. Jadi untuk film TANDA TANYA dan setelahnya kebijakan ini akan diberlakukan," terangnya. Maka dengan mantap Hanung menyatakan film terbarunya TANDA TANYA dipersembahkan untuk memperingati hari film nasional.
Kita selama ini hanya bisa mencibir dan kritik tanpa solusi bahwa film lokal jelek. Meninggalkan loket dengan bangga mengantongi tiket film luar. Tapi tak banyak yang peduli mengapa film kita jelek dan bagaimana solusinya. Sadarkah kita, ketika tidak ada yang mau membeli tiket film nasional, kita sudah membunuh kesempatan sineas kita berkembang. Bagaimana caranya sineas berkembang jika film tidak balik modal terus-terusan? Ini langkah kecil sebagai penonton yang bisa kita lakukan untuk mendukung perfilman Indonesia. Tak apalah kita tak sudi menonton, tapi kalau kemudian sudah enggan beli tiket tapi membeli bajakan? Semakin terpuruklah film kita.
Hanung melakukan satu langkah yang mungkin tidak akan dilakukan jika tidak terjadi bencana film. LSF menjadi sangat terbuka untuk berdialog dengan insan perfilman. Bahu-membahu memperbaiki kualitas film bukan sekedar kuantitas. Kesan angker LSF perlahan mulai pudar, dengan banyaknya diskusi. Dari diskusi muncullah solusi yang sama-sama bertujuan memperbaiki kualitas film nasional.
Jauh sebelum kisruh dunia perfilman Indonesia terjadi, Deddy Mizwar, memberi peringatan tanpa kita sadari. Deddy menyentuh ulang film lawas NAGABONAR untuk diputar kembali ke bioskop. Tak hanya penonton yang tercengang, para sineas juga seperti mendapat teguran. Pada era tahun 1987, perfilman Indonesia pernah mencapai titik gemerlap tanpa adanya sentuhan berbau seksi atau adegan sedikit vulgar.
Hanung tanpa ragu memuji keberanian Pak Haji Deddy. "Harapan saya remind pernah ada masa jaya film Indonesia kalau bisa diputar lagi. NAGABONAR diputar ulang oleh Deddy Mizwar itu bagus. Seharusnya negara itu bertanggung jawab untuk menjaga kualitas film. Tapi yang terjadi sekarang, yang mau mutar cuma Kineforum. Itu pun nggak dibantu dengan publikasi yang bagus. Padahal dari situ masayarakat khususnya anak muda akan tahu dan membuka mata kita semua bahwa film itu penting.
Persoalan kita bukan sekedar di kualitas film. Mengutip pernyataan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia, Djonny Syafriuddin di Koran Tempo (27/02/2011), saat ini ada 130 gedung bioskop 21 di seluruh Indonesia dengan total jumlah 539 layar dan 103.716 tempat duduk. Sedangkan bioskop non-21 saat ini berjumlah 48 dengan 163 layar dan memuat 36.009 tempat duduk. Idealnya, kata dia, ada 3.000 layar di seluruh Indonesia.
Kekurangan 2.200 layar bioskop adalah masalah yang selama ini tidak pernah diungkit di permukaan. Yadi Sugandi, sutradara film MERAH PUTIH, menyebut keberpihakan pemerintah pada film lokal sangat minim. "Kita ditarik pajak berlipat, tapi pajaknya nggak ada yang dikembalikan ke insan film. Mana ada pembangunan gedung bioskop oleh pemerintah? Padahal kita kurang banyak layar?" ujarnya saat berbincang dengan KapanLagi.com.
Baginya, tak masalah kalau memang jaringan Cineplex21 lebih memilih film Hollywood. "Tapi sediakan layar baru buat film Indonesia, itu tugas pemerintah. Selama ini jaringan bioskop yang ada ndompleng sama mal-mal. Ini membuat pecinta film yang sebenarnya cenderung tergerus. Apalagi mal itu biasanya ada di kota propinsi. Penonton kita di kabupaten yang sekian banyak itu tak tersentuh. Padahal saya yakin mereka juga butuh hiburan," jelasnya.
Sementara, menyoal kualitas horor seksi, Ody Mulya, produser Maxima Pictiures punya jawaban sendiri. Kenyataan semakin dicela jelek, namun semakin banyak penonton yang ikut menonton membuat Ody percaya diri meneruskan langkahnya. "Saya memaknai hari perfilman nasional sebagai hari ulang tahun bersama untuk insan perfilman. Setiap ulang tahun adalah momen refleksi bagi saya. Apa yang telah dan harus saya lakukan ke depan untuk perfilman nasional," tuturnya Rabu (30/03/2011).
Ody, tak menyalahkan siapapun saat kisruh perfilman nasional dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang membuat film instan. "Kalau dari kacamata penjual film, saya tidak menyalahkan. Ada kesempatan, kuota bertambah ya dimanfaatkan. Lagipula layar bioskop harus terus nyala. Kalau nggak ada film baru nanti nggak ada penonton. Kalau nggak ada penonton bioskop mau hidup dari mana? Banyak orang yang bekerja di bioskop, jangan sampai gulung tikar kalau nggak ada film trus nggak mutar pita film," tegasnya.
Ditengah caci maki dan kritik pedas berbagai pihak, Ody melaju ke kancah Asia. "Orang selama ini selalu mencibir saya menciptakan kontroversi dengan mendatangkan artis luar negeri untuk main di film Indonesia. Padahal saya berfikir panjang, bukan sekedar jualan di Indonesia. Saya bawa film saya ke Hongkong Market Film. Sudah tiga tahun berturut-turut tapi cuma sebagai penonton. Wah, saya berpikir kalau begini terus, tidak ada yang baru dan beda film kita tidak akan dilirik. Setelah saya pasang Sora Aoi untuk film SUSTER KERAMAS 2, banyak negara yang antri untuk ikut memutar film saya. Artinya apa? Kita mulai dilirik dengan memanfaatkan kedekatan emosional pemain yang sudah dikenal di kancah Asia," terangnya.
Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk menunjukkan kepedulian pada dunia perfilman Indonesia. Saya sendiri, yang biasa menonton gratisan saat preview film untuk wartawan, tak segan menonton ulang film yang bagus. Mengajak kolega untuk menontonnya. Lewat lisan maupun tulisan saya dalam resensi atau mempromosikannya lewat jejaring sosial. Bagi saya membeli satu tiket untuk film lokal, berarti saya sudah berpartisipasi memajukan film nasional. Apa yang sudah Anda lakukan? Film Indonesia milik kita bersama, kita bisa mendukung dengan masing-masing cara kita. Selamat Hari Perfilman Nasional. Jaya terus perfilman Indonesia!!!!


sumber: kapanlagi.com
23.27 | 0 komentar

Adelia Pahami Kesibukan Pasha

Kapanlagi.com - Belum genap seminggu usia pernikahannya dengan Adelia Wihelmina, Pasha sudah kembali beraktivitas di dunia hiburan. Vokalis Ungu itu menikahi mantan pramugari sebuah maskapai ternama pada Minggu (27/03) lalu. Namun Rabu (30/03) sudah terlibat dalam pembuatan video klip single terbaru Ungu, Saat Bahagia."Iya gue sudah kembali lagi beraktivitas seperti biasa," kata Pasha saat pembuatan video klip Saat Bahagia yang dinyanyikan berduet bersama Andien di Surya Kencana Studio Jl. Surya Widuri I/27 Perum Sunrise Garden, Kedoya, Jakarta Barat, Rabu (30/03) malam.
Seperti dikatakan Pasha sebelumnya, tradisi bulan madu yang biasa dilakukan pasangan pengantin baru terpaksa ditunda sementara, gara-gara jadwal padat band Ungu.
"Ada keinginan untuk liburan tapi nunggu waktu kosong dulu karena jadwal Ungu padat sampai Lebaran," lanjut vokalis kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah 31 tahun silam ini.
Namun dengan berbagai kesibukan, tidak membuat sang istri kecewa. Malah, diakui oleh Pasha kalau Adel sangat mengerti akan kesibukannya.
"Adel di rumah saja. Dia enggak ikut (syuting) tapi dia ngerti suaminya sibuk kok," pungkas mantan suami Okie Agustina ini sambil berlalu.  (kpl/ato/dar)


sumber: kapanlagi.com
23.25 | 0 komentar

Welcome Guys

Anda Berada di Dunia Dompet Ipunk
Selamat Mendapatkan Informasi Bermanfaat dari Kami

Entri Populer

Setuju Agnes ke Amerika

Chat

Komentar

cari

Data diri saya

Foto saya
Saya adalah seorang pelajar biasa yang bercita-cita berkuliah di Harvard University !

Pengikut

Blog Archives